Kamis, 14 Januari 2010

Tutur, Muwur, Sembur

Sangsaya dalu araras abyor kang lintang kumedhap, titi sonya tengah wengi…
Rata Penuh

Sepotong suluk saya kutip dari sebuah adegan dalam pewayangan, yang saya dengarkan saat itu. Membuat saya ingin uthak uthik di atas keybord. Nyuwun sewu mengunggah catatan lagi, seperti yang sudah-sudah saya juga nyontek dari wayang, dan parahnya lagi kecampuran basa jawa, dan karena itu saya mendapat “clathu” kok dicampuri bahasa jawa, jangan-jangan gak bisa bahasa nasional? Mudah-mudahan juga tidak ada yang berprasangka terhadap saya terkena fanatisme kedaerahan. Jagad dewa bathara ya jagad pangestungkara (nirukan dalangnya), Sungguh kawan bukanya tidak mau menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai EYD, tapi saya sisipkan bahasa jawa sejatinya bermaksud wujud dari katresnan terhadap apa yang sudah leluhur kita wariskan, saya kuwatir kalau suatu saat nanti bahasa jawa di klaim sama “tetangga sebelah” sebagai bahasa Tradisionalnya, kan yo isin, wong sama bahasanya sendiri tidak open (care) setelah di comot maling baru teriak-teriak iki wek ku.(ini punyaku)

Selanjutnya dalam wayang yang saya dengarkan lewat format MP3 itu, saya kok tertarik dengan pocapan dalangnya walaupun dalam adegan bercanda..”Yen kepingin di anggep wong tuwa utawa pandega iku kudu bisa nduweni sifat telung ur yaiku Tutur, Muwur, Sembur” (Kalau ingin di anggap/disebut sebagai orang tua atau pemimpin itu harus bisa memiliki tiga UR yaitu Tutur, Muwur,Sembur). Dari sinilah saya yang biasa meniru Pak Arif Nur Cahyo uthak athik mathuk dan diteruskan uthak uthik sinambi umak-umik mencoba ngonceki/mengupas dan menulis kembali apa yang sudah Ki Dalang katakan dalam pewayangan tadi, tentunya dalam menulis juga sebisanya, wong saya juga bukan dalang. Siapa tahu ada manfaatnya itu saja. Tidakpun juga tidak mengapa, wong cuma niru dalangya bercanda..


Tutur, Muwur, Sembur

Ketiga kata tersebut (kalau tidak keliru) berasal dari bahasa jawa, dan mempunyai makna dan arti sendiri-sendiri, bila di gabungkan saya kira menjadi sebuah filosofi yang sangat baik bila mau menelaahnya syukur bisa di miliki oleh wong tuwa / pandega (orang tua/pemimpin, juragan, atasan, pimpinan, majikan atau apalah pokoknya yang sejenis). Walaupun tidak harus orang tua/pandega, tapi semua yang wujudnya manusia (seperti saya) tidak ada salahnya memiliki telung ur tersebut.

Tutur itu…

Kata pak dhalang tutur itu berarti bicara, bila sudah berubah menjadi Nuturi artinya menjadi “menasehati” bahasa umunnya ngandhani. Kemudian yang keluar dari nuturi itu disebut Pitutur, yaitu nasehat. Maksudnya mengapa harus tutur adalah.. diharapkan siapa saja yang menjadi orang tua/pemimpin harus bisa tutur-tutur kanggo nuturi kanthi pitutur sing becik. Bicara untuk menasehati dengan nasehat-nasehat yang bermanfaat untuk kebaikan. Kenapa begitu? Banyak pitutur yang sejatinya buruk namun di kemas dengan kedok yang bermacam. Mungkin contoh yang sesuai dengan keadaan saat ini, banyak pitutur yang kelihatannya baik namun sesungguhnya mengajak pada ketidak baikan. Seperti…
- Tutur-tutur mengajak remaja-remaja polos menjadi “pengantin”…
- Tutur-tutur mengajak kepada kebencian terhadap sesama… dan banyak lagi
Itulah kenapa yang punya kewenangan untuk Nuturi hanya orang tua/atasan saja, sebab Nuturi orang lain itu tidak gampang, pitutur yang tidak bertanggung jawab bisa menjerumuskan seseorang kedalam perilaku yang tidak bisa diterima oleh masyarakat. Jadi kata para winasis ora waton ngomong, nanging ngomong sing nganggo waton. Seperti saya, nek waton njeplak saja jagone, tapi nek njeplak sing nganggo waton, belum mampu dulur.

Muwur itu…

Menurut dalangnya muwur artinya memberi, memang agak susah mengartikannya, setahu saya berasal dari kata wuwur yang dalam bahasa indonesianya adalah menabur. Wuwur dalam kata kerja menjadi muwur. Makna yang terkandung disini adalah suka memberi (menabur = memberi) lebih luasnya sifat loma (dermawan) kalau basa jawa. Bagi para teoritikus mungkin disebut “reinforcement”. Lalu kenapa muwur ? Disadari atau tidak, mungkin sebenarnya muwur ini berpengaruh. Anak/bawahan mana yang tahan dengan orang tua/juraganya yang pelit? Setiap hari hanya tutur-tutur tapi medhit? Pasti 100% tidak ada yang akan mendengarkan pitutur-pituturnya.. Ujung-ujungnya malah di “mbelgedhes” kan.

Sembur itu..

Sembur hampir sama dengan bahasa Indonesia, bisa diganti dengan semprot. Artinya di sini adalah memarahi kalau dalam bahasa jawa nyeneni. Sedang dalam teori lain boleh dimasukkna dalam jenis “punishmet”. Mengapa harus marah, ya karena tidak selamanya anak-anak/bawahan itu berada pada jalur yang benar, ada kalanya berbuat salah. Sembur sangat diperlukan tapi dilakukan dengan cara yang cerdas bukan asal semprot. Sembur yang cerdas bukan membuat mereka yang di semprot itu menjadi takut dan jadi nggersulo, menggerutu, tapi sebaliknya mampu memotivasi yang bersangkutan dengan ikhlas memperbaiki kesalahannya dan meningkatkan kinerjanya.

Yang menjadi pertanyaan saya….

Antara tutur, muwur sembur mana yang harus didahulukan, saya tidak tahu, tapi mungkin sebaiknya ketiganya harus ada.. sebab :

- Nuturi terus dan nyembur terus kalau gak di kasih muwur mana ada yang tahan..
- Nyembur terus dan muwur terus kalau gak di kasih tutur ya tidak karuan..
- Sembur terus dan tutur terus yo malah pahit..


Kalau kalau sudah menjadi orang tua/atasan tidak bisa memberi ketiganya terus gimana? Jawabnya mudah, yo ora usah dadi wong tuwa/pandega. Memang ndak pantes kok meksa, jadinya ya wong tuwa/pandega sing digawe pantes-pantesan..

6 komentar:

  1. Yuk… Kita semuanya MOVE ON dulu deh sejenak pada Sosok Profil dari seorang “SRIKANDI MUDA INDONESIA” yang dapat MENGINSPIRASI Hidup Kita semua.

    Penasaran kan?

    Ingin tahu lebih lanjut, Silahkan buka pada Link/Pranala sebagai berikut: http://sosok.kompasiana.com/2015/04/22/citra-cantik-indonesia-the-young-inspired-srikandi-739926.html#

    Makasih Banyak Sebelumnya Ya Semuanya.

    BalasHapus
  2. nuwun sewu sakderengenipun,menawi kulo kelentu nerjemahaken.tapi menurut kulo.istilah sembur nak kulo ngartike niku artinipun do'a/mendoakan/dongakke

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sarujuk... Dulu orangtua Saya juga menterjemahkan SEMBUR Itu doa

      Hapus
    2. Sarujuk... Dulu orangtua Saya juga menterjemahkan SEMBUR Itu doa

      Hapus